Sebuah investigasi oleh Barbara Vignaux.
Hantu kelaparan yang meluas muncul kembali secara berkala dan kini diperburuk oleh perubahan iklim. Sebuah kekhawatiran yang patut diperhatikan.
Populasi dunia diperkirakan akan memuncak pada 2080 dengan 10 miliar manusia. Hal ini diiringi dengan sebuah tantangan besar, yaitu pangan. Apakah Bumi mampu memberi makan sekian banyak manusia? Masalah ini selalu dipertanyakan kembali setiap jumlah populasi mencapai ambangnya: 6, 7, 8 miliar… Solusinya sangat jelas, yaitu mengontrol pertumbuhan populasi untuk mengendalikan sumber daya. Gagasan ini bukanlah hal baru karena sebelumnya telah dirumuskan pada tahun 1798 oleh ekonom Inggris Thomas Malthus (1766-1834) dalam bukunya, An Essay on the Principle of Population. Faktanya, dari tahun 1800 hingga saat ini, populasi dunia telah meningkat delapan kali lipat. Selama periode 1999-2022 saja, yang kurang dari 25 tahun, populasi telah meningkat sebanyak 2 miliar jiwa. Namun, terlepas dari pertumbuhan ini, kelaparan menurun sejak beberapa dasawarsa ini. Hal ini menunjukkan bahwa Bumi memiliki sumber daya yang cukup untuk memberi makan populasi dunia yang terus bertambah. Besok, pertanyaan “apakah mampu menyediakan makanan bagi 10 miliar manusia?” mungkin akan menjadi kurang penting ketimbang : menentukan bagaimana perang melawan perubahan iklim dapat memaksakan kehendak-kehendak baru, yaitu memproduksi makanan dengan cara yang lebih “hijau”. Dari sisi penawaran praktik-praktik pertanian harus lebih ramah lingkungan. Dari sisi permintaan, perilaku makan harus disesuaikan dengan kapasitas pangan global, dengan mengurangi konsumsi daging dan limbah sisa makanan. Terakhir, akses untuk mendapatkan makanan harus lebih merata: kelaparan masih merajalela saat ini. Bermain dengan parameter ini, para peneliti mengembangkan beberapa skenario berbeda, dari yang paling mengkhawatirkan hingga yang paling menggembirakan.
Apa saja peninggalan Malthus? Dengan mengemukakan ide yang orisinal pada masanya, bahwa pangan yang tersedialah yang menentukan ukuran populasi, pastor Anglikan ini menganjurkan kesucian (perilaku seksual) dan pernikahan pada usia dewasa untuk membatasi jumlah orang miskin dalam masyarakat London saat itu. Tetapi, pada tahun 1960-an, ekonom Denmark Ester Boserup (1910-1999), yang dijuluki sebagai “anti-Malthus”, menunjukkan hal yang sebaliknya; bahwa tekanan demografis justru mendorong kemajuan teknologi pertanian dan meningkatkan produksi. Kini, pengendalian kelahiran koersif tidak lagi menjadi agenda. Penuaan demografislah yang mencuri perhatian otoritas publik dan karena itu… jumlah kelahiran harus ditingkatkan!
*Kondisi Ketahanan Pangan Dunia, PBB, 2022
Dua peristiwa besar yang baru-baru ini terjadi mengingatkan kita bahwa ketahanan pangan rentan terhadap bahaya-bahaya yang tidak dapat diprediksi. Mustahil untuk memprediksinya dalam skenario masa depan. Setelah pandemi Covid-19 pada 2020 yang mengacaukan rantai pasokan, invasi Rusia terhadap Ukraina melambungkan harga sereal dan pupuk, termasuk nitrogen (yang sebagian besar diekstraksi dari gas). Hal ini disebabkan karena: Ukraina dan tetangganya Rusia adalah dua negara breadbasket pengekspor sereal terbesar di dunia. Sebagai importir gandum lunak terbesar, Mesir harus menyiasati stok strategis sebagai hal yang mendesak serta mendiversifikasi pemasoknya.
GANDUM: NEGARA MAJU MENGEKSPOR, NEGARA MISKIN MENGIMPOR
Negara-negara pengekspor gandum terbesar dan negara-negara tujuan ekspor terbesar:
● Importir (ukuran sebanding dengan seberapa penting negara tersebut dalam eksportasi negara pemasok)
◌ Negara-negara importir terbesar di dunia
5 NEGARA MENYUMBANG 65% DARI EKSPORTASI PADA TAHUN 2020:
10 NEGARA TERATAS DENGAN AIR TAWAR TERBAIK
Ketersediaan air tawar dalam m3 per kapita pada tahun 2019
Ketegangan yang sudah kuat
Kelangkaan air ditentukan oleh rasio volume penyedotan air tawar dan sumber-sumber mata air yang tersedia. Melebihi 80% dianggap tinggi, sementara di bawah 10% dianggap tidak terjadi kelangkaan air.
Apakah ada hidangan yang dapat memberi makan seluruh populasi manusia yang terus bertambah tanpa semakin merusak lingkungan?
Para pembuat prediksi telah lama berfokus pada bagaimana cara memproduksi lebih banyak pangan, namun selama dasawarsa terakhir ini, mereka juga merekomendasikan untuk mengurangi konsumsi makanan. Sedemikian rupa sehingga orientasi pola makan yang baik untuk kesehatan ataupun lingkungan didefinisikan menjadi “mengurasi asupan kalori harian sampai sekitar sepertiganya (termasuk makanan rusak dan sisa makanan) dan mengonsumsi lebih sedikit produk hewani”. Melibatkan 40 pakar di bidang nutrisi, kesehatan masyarakat dan lingkungan, sebuah panel internasional yang diselenggarakan oleh jurnal medis The Lancet mendefinisikan “hidangan yang sehat bagi Bumi” untuk tahun 2050*. Pada menu: melipatgandakan konsumsi global buah-buahan, sayuran, dan kacang-kacangan, serta mengurangi hingga setengah konsumsi daging merah dan gula. Menggunakan model ini, orang-orang di negara-negara maju perlu mengeluarkan upaya yang paling besar, sebab saat ini pola makan mereka adalah yang paling membuat gemuk dan paling manis. Selain itu, negara-negara ini harus mengurangi limbah sisa makanan mereka hingga setengahnya! Para pakar yang sama memperkirakan bahwa “pola makan sehat” ini bisa mengurangi sekitar 11 juta kematian prematur per tahun yang diakibatkan oleh konsumsi makanan berlebihan. Skenario “sehat” ini – yang bergantung pada pemeliharaan lahan pertanian pada tingkat saat ini dan tanpa perluasan – belum tentu bisa menjawab tantangan pangan yang ramah lingkungan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa solusi teknis itu memang ada.
*Cirad: Centre de coopération internationale en recherche agronomique pour le développement (Pusat Kerja Sama Riset Agronomi Internasional untuk Pembangunan) **Inrae: Institut national de recherche pour l’agriculture, l’alimentation et l’environnement (Lembaga Riset Nasional untuk Pertanian, Pangan, dan Lingkungan)
Di dunia, hampir sepertiga makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia terbuang sia-sia. 14% makanan yang diproduksi secara global, hilang pada titik produksi atau pengiriman akibat kerusakan gel atau pengawet makanan, matinya daya pendingin,d ll. Selain itu, sekitar 17% menjadi sampah sisa makanan yang dibuang oleh pedagang atau konsumen. Di negara-negara berkembang yang terjadi adalah makanan rusak yang menjadi sampah karena tidak memenuhi standar kontrol kualitas untuk dijual, sementara di negara-negara maju sampah makanan dihasilkan setelah dijual. Selain itu, menurut FAO, sepertiga dari makanan yang rusak dan terbuang ini berkontribusi terhadap 8-10% gas rumah kaca global.
*IPES-Food/FAO, Politik Protein, April 2022 **Inrae, “Quels sont les bénéfices et les limites d’une diminution de la consommation de viande ?” (Apa Saja Manfaat dan Batasan Pengurangan Konsumsi Daging?), Januari 2019
Peningkatan konsumsi daging dunia disebabkan oleh pertambahan populasi dan perubahan pola makan dengan proporsi yang beragam dari satu negara ke negara lain.
Contoh Konsumsi Daging Sapi
Persentase evolusi konsumsi daging pada 2030 yang disebabkan oleh…
Saat ini, memproduksi lebih banyak pangan dengan menghasilkan lebih sedikit gas rumah kaca serta menggunakan lebih sedikit bahan kimia sudah bisa dilakukan.
Menurut beberapa skenario, di masa depan kita harus memproduksi lebih banyak agar dapat memenuhi kebutuhan pangan dunia: + 50 hingga + 70% pangan pada tahun 2050 (dibandingkan dengan tahun 2010). Tetapi, kita harus melakukannya dengan praktik-praktik pertanian yang lebih berkelanjutan, sebab sistem pertanian kita hari ini menghasilkan lebih dari 30% gas rumah kaca, menjadi penyebab hilangnya keanekaragaman hayati dan deforestasi, serta mengonsumsi 70% air tawar dunia. Jadi, bagaimana caranya untuk menjadi lebih produktif dengan jalan yang lebih baik? Semua skenario menekankan perlunya memperbaiki praktik pertanian kita. Misalnya, Postdam Institute for Climate Impact Research memperkirakan bahwa sistem yang kita gunakan saat ini secara ekologis hanya dapat memberi makan 3,4 miliar orang. Namun, agar dapat menyediakan pangan untuk lebih dari 10 miliar orang** harus ada langkah-langkah yang sudah terbukti efektif seperti perluasan lahan pertanian, perbaikan sistem irigasi dengan penyimpanan air di musim basah dan aplikasi teknik tetesan, penggunaan nitrogen untuk menyuburkan tanah; pemulihan lahan yang terdegradasi, pemulsaan tanah untuk menghindari penguapan yang tidak produktif, dsb. Hal tersebut disertai sejumlah kendala seperti pembukaan lahan baru atau pendistribusian air irigasi. Namum, untuk meningkatkan produktivitas pertanian, ruang-ruang lain untuk bermanuver masih harus dimanfaatkan. Pengenalan kacang-kacangan, misalnya, dapat meningkatkan resistensi terhadap penyakit dan parasit serta kesuburan tanah. Hasilnya: peningkatan rendemen hasil pertanian utama (padi, gandum, jagung) sebanyak 20% di tingkat global dan 40% di Afrika! Hal ini terungkap dari analisis 450 percobaan lapangan yang dilakukan di 53 negara.
Menurut sebuah tim dari Swiss, pertanian “100% organik” akan dapat menyediakan makan bagi 9 miliar manusia pada 2050 (Nature Communications, 14 November 2017). Tetapi kelayakan dan manfaatnya tetap kontroversial. Di satu sisi, rendemen organik yang lebih rendah memaksa lahan baru, termasuk padang rumput atau prairi yang kaya akan karbon, untuk diolah (Nature Communications, 22 Oktober 2019). Di sisi lain, titik balik seperti itu membutuhkan persiapan yang cermat, seperti yang ditunjukkan lewat penurunan produksi yang dramatis di Sri Langka setelah larangan terhadap pupuk dan pestisida kimia. Larangan yang ditetapkan pada bulan April 2021 itu dicabut… enam bulan kemudian.
Delapan Miliar Manusia: Selanjutnya Apa?
© 2020 All Right Reserved
INSTITUT FRANÇAIS INDONÉSIE – IFI
Jalan M.H. Thamrin No. 20 Jakarta Pusat 10350
+6221 23 55 79 00
info@ifi-id.com
Jalan M.H. Thamrin No. 20 Jakarta Pusat 10350
+6221 23 55 79 00
info@ifi-id.com
© 2020 All Right Reserved
INSTITUT FRANÇAIS D’INDONÉSIE – IFI
Cookie | Duration | Description |
---|---|---|
cookielawinfo-checkbox-analytics | 11 months | This cookie is set by GDPR Cookie Consent plugin. The cookie is used to store the user consent for the cookies in the category "Analytics". |
cookielawinfo-checkbox-functional | 11 months | The cookie is set by GDPR cookie consent to record the user consent for the cookies in the category "Functional". |
cookielawinfo-checkbox-necessary | 11 months | This cookie is set by GDPR Cookie Consent plugin. The cookies is used to store the user consent for the cookies in the category "Necessary". |
cookielawinfo-checkbox-others | 11 months | This cookie is set by GDPR Cookie Consent plugin. The cookie is used to store the user consent for the cookies in the category "Other. |
cookielawinfo-checkbox-performance | 11 months | This cookie is set by GDPR Cookie Consent plugin. The cookie is used to store the user consent for the cookies in the category "Performance". |
viewed_cookie_policy | 11 months | The cookie is set by the GDPR Cookie Consent plugin and is used to store whether or not user has consented to the use of cookies. It does not store any personal data. |